Oleh: Yazid Imam Bustomi

Dua bulan yang lalu saya menjalani program internship berupa pengabdian kepada masyarakat yang diadakan oleh kampus IAIN Pontianak bekerja sama dengan Lembaga HIKMAH (Harakah Islamiyah) Sarawak, Malaysia. Satu-satunya Lembaga independen non pemerintahan yang bergerak di bidang dakwah. Tetapi syiar dakwahnya mampu memfasilitasi masyarakat mualaf yang berada di seantero Malaysia Timur. Fokus utama dari HIKMAH ini adalah membina umat muslim terutama mualaf di pedalaman Malaysia[1].

Prosesi Penyerahan ke Masyarakat yang dipimpin oleh Manager Dakwah HIKMAH Haji Idris

[1] https://www.hikmah.org.my/pengenalan diakses 18 November 2022

Hampir sebulan menjalani aktivitas dakwah membantu para da’i untuk mengajar ngaji Al-Qur’an dan mengidupkan surau tersebut. Kegiatan itu dimulai dari tanggal 6-30 September 2022 yang terpusat di surau sebagai sentral dakwah. Salah satu kelompok muslim yang aktif dalam berbagai program yang dibuat oleh ketua pengurus surau. Selain anak-anak dan remaja, Ibu-ibu dan bapak-bapak yang sudah lansia masih semangat untuk belajar mengaji dan kompak ketika ada acara mereka masing-masing membawa makanan untuk dimakan Bersama setelah program tersebut.

Proses mengajar ngaji Bersama masyarakat muslim kampung Pedaun Bawah

Ada beberapa hal yang unik dari kampung yang saya jadikan sebagai tempat tinggal selama berlangsungnya program tersebut. Biasanya suatu kelompok umat beragama minoritas akan mengalami perlakuan yang kurang mengenakkan bagi mereka, baik dari aspek keagamaan maupun secara sosial. Namun, hal tidak berlaku di daerah pedalaman tepatnya di Kampung Pedaun Bawah, Bau, Sarawak Malaysia. Masyarakat Islam yang berada di tengah-tengah perkampungan Kristen Katolik yang jumlahnya jauh sekali jika dilihat secara kasat mata melalui perbandingan rumah ibadahnya saja. Hanya ada satu surau saja dan untuk Masjid berjarak tempuh sekitar 30 menitan yang berada di pusat daerah Bau tersebut. Daerah Bau jika di Indonesia dapat di kategorikan sebagai sebuah kecamatan yang lumayan luas dengan mayoritas penduduknya beragama Kristen Katolik.

Kampung Pedaun  Bawah adalah kampung paling ujung yang terletak antara perbukitan yang curam. Populasi heterogen yang didominasi oleh masyarakat Dayak Bidayuh beragama Katolik tidak membuat masyarakat muslim gentar untuk menjadikan kampung itu sebagai tempat mereka untuk bertahan hidup dan menjalankan kawajiban ibadahnya. Surau berdiri tegak bahkan telah bertransformasi bangunannya lewat beberapa sumbangsih masyarakat dan pemerintah pertanda tidak ada konflik dengan adanya pendirian rumah ibadah.  Surau Al Falah menjadi satu-satunya tempat masyarakat muslim menunaikan ritual dan menghadap Tuhannya berlokasikan di lembah yang dikelilingi oleh masyarakat Katolik.

Tampak depan Surau Al Falah Kampung Pedaun Bawah

Kegiatan keagamaan sejak dulu berlangsung pada umumnya. Seperti lantunan adzan tetap bisa didengar dan dinikmati selama lima waktu dengan pengeras suara tanpa adanya komplain. Tidak ada aturan mengenai volume adzan layaknya Indonesia. Mereka bebas meluapkan ekspresi memanggil umat untuk menghadap Tuhan melalui lirik Adzan dengan aman dan tentram tanpa intervensi dari berbagai pihak. Kekaguman itu terus saya temui dengan ketika ada masyarakat katolik meninggal. Ustadz Nawawi selaku ketua pengurus Surau Al Falah mengajak saya untuk takziah, sambutan keluarga dan masyarakat membuat saya tertegun. Layaknya tamu undangan VIP kami dijamu dengan spesial makanan dan minuman khusus pertanda mereka sangat menjaga hubungan dengan baik. Hubungan kerukunan ini membuat saya takjub karena di Indonesia pola kerukunan yang dalam kategori Islam minoritas maupun sebaliknya masih jarang ditemui.

Takziah ke salah satu masyarakat Katolik yang meninggal

Kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia menganai pendirian rumah ibadah menjadikan sebuah tren yang selalu tidak ada habisnya. Dilansir dari voaindonesia.com terdapat 23 laporan tentang kasus rumah ibadah sepanjang tahun 2017-2019 yang diadukan kepada Komnas HAM[2]. Beliau juga menegaskan bahwasannya masih terdapat kasus yang belum terekspose atau diadukan kepadanya. Beberapa bulan yang lalu juga terdapat kota Cilegon konflik pendirian gereja yang dilarang oleh masyarakat muslim yang nota bene nya sebagai masyarakat mayoritas di kota tersebut[3].


[2] https://www.voaindonesia.com/a/komnas-ham-temukan-23-kasus-rumah-ibadah-sepanjang-3-tahun-terakhir/5650714.html diakses 18 November 2022

[3] https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-62836957 diakses 18 November 2022

Firdaus mengutip pendapat Paul Knitter bahwasannya intoleransi terjadi karena perjumpaan yang tidak langsung. Pola ini membuat masyarakat malas dan enggan untuk mendiskusikan persoalan keimanan mereka masing-masing. Sehingga terjadi claim truth dari masing-masing pihak untuk saling memuaskan hasrat beragama mereka satu sama lain. Perjumpaan tidak langsung itu membuat interpretasi yang memicu timbulnya prasangka negatif dan berujung konflik dengan membawa nama agama. Oleh karena itu memang wajib mengetahui ajaran-ajaran agama lain agar mampu memberikan paradigma dan wawasan baru sehingga pola pikir inklusif bisa timbul yang nantinya akan membuat kasus-kasus intoleransi bisa dikelola dengan baik dan perlahan akan berakhir[4].


[4] Yunus, F. M. (2014). Konflik agama di Indonesia problem dan solusi pemecahannya. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 16(2), 217-228.

Masyarakat muslim dan katolik di kampung pedaun bawah memberikan gambaran bahwa mereka telah melaksanakan perjumpaan yang langsung dan pola interaksi serta diskusi tentang keimanan mereka terjalin sangat baik. Sehingga mereka dapat hidup berdampingan, aman dan tentram dalam melaksanakan kebutuhan materi dan non materinya. Masyarakat Indonesia perlu untuk meniru dan mentransformasikan nilai-nilai kerukunan masyarakat yang ada di Negeri Jiran dengan tidak mengedepankan rasa superior, kepentingan individu, maupun kelompok. Dari berbagai kasus penolakan pendirian rumah ibadah dikarenakan mereka merasa mempunyai kekuatan superior dalam suatu kelompok agama sehingga dengan mudah nya menolak dan melarang pendirian rumah ibadah di wilayah teritorialnya. 

Sekali lagi masyarakat Kampung Pedaun Bawah menyindir secara tidak langsung bahwa mereka lah semboyan yang terus menerus di gaungkan oleh masyarakat Indonesia dari Sabang hingga Merauke yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Mereka tidak pernah menggunakan superioritasnya untuk mengintervensi bahkan melarang ekspresi beragama masyarakat muslim disana. Mereka mampu menjaga kekuatan dan kesolidaritasan antar sesama dengan terus terciptanya kerukunan di lingkungannya.

Daftar Pustaka

Yunus, F. M. (2014). Konflik agama di Indonesia problem dan solusi pemecahannya. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 16(2), 217-228

https://www.voaindonesia.com/a/komnas-ham-temukan-23-kasus-rumah-ibadah-sepanjang-3-tahun-terakhir/5650714.html diakses 18 November 2022

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-62836957 diakses 18 November 2022

https://www.hikmah.org.my/pengenalan diakses 18 November 2022

Editor: Elis Nurhadijah

Leave a Comment