Ulasan Religious Moderation In The Frame Of Inclusive Democracy
30 November 2022 2023-02-17 15:35Ulasan Religious Moderation In The Frame Of Inclusive Democracy
Ulasan Religious Moderation In The Frame Of Inclusive Democracy
Oleh:
Elis Nurhadijah
Prodi Studi Agama-Agama menjadi tuan rumah pada acara The 4th (Hybrid) International Conference on Indigeous Religions and CSO Consolidation di Aula A. Rani IAIN Pontianak. Sebelumnya Konferensi ICIR telah dilaksanakan pada tanggal 28 November 2022 di Universitas Panca Bakti. Selanjutnya Konferensi ICIR plenary session ke 2 dilaksanakan di IAIN Pontianak, pada hari Selasa, 29 November 2022. Plenary session 2 ini mengangkat tema: “Religious Moderation In The Frame Of Inclusive Democracy” yang diisi oleh tiga narasumber yang telah bergulat dalam mengembangkan kebijakan moderasi beragama dan demokrasi inklusif.
Narasumber pertama ialah Ibu Nur Rafiah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Narasumber kedua Romo Albertus Bagus Laksana selaku Rektor Universitas Sanata Dharma. Serta pemateri terakhir Mr. Mark Woodward dari Arizona University. Plenary session 2 ini dipandu oleh Andry Fitriyanto, M.Ud. yang juga merupakan Sekretaris Prodi SAA. Acara ini diselenggarakan secara luring dan daring, turut pula dihadiri oleh ratusan peserta dari unsure dosen dan mahasiswa.
Dalam presentasinya, Ibu Nur Rafiah memaparkan bahwa konsep moderasi beragama dalam bingkai demokrasi yang inklusif adalah mencari kesamaan atau titik temu antara perbedaan-perbedaan yang ada dalam setiap agama. Pada setiap agama pula terdapat aspek esoteric dan aspek eksoterik. Dalam aspek eksoteric (luar) setiap agama menampakkan wajah yang berbeda dengan ritual dan penyebutan nama-nama keagamaan yang berbeda. Akan tetapi, ketika sampai pada aspek esoteriknya, maka akan ada titik temu spiritualitas antar agama-agama.
Kemudian Romo Albertus juga menjelaskan mengenai Demokrasi modern dan agama. Beliau menyebutkan bahwa demokrasi di jaman Post-sekular artinya tidak lagi sekuler atau sudah melampaui sekularisasi, negara tidak dilawankan dengan agama. Agama tidak hanya ada di wilayah privat seperti dahulu, tetapi juga masuk ke wilayah public yaitu wilayah yang betul-betul public dan juga ruang public yang semu, ruang kontestasi politik. Tetapi pembangunan kemaslahatan, kesejahteraan kemanusiaan bersama, kepentingan bersama. Pada intinya dapat dilihat bahwa indikator moderasi beragama harusnya terdapat dua hal, yaitu rasionalitas public dan spiritualitas.
Selanjutnya Mr. Mark sendiri meyampaikan bahwa setiap Negara mempunyai relasi agama, batas kebebasan agama. Beliau juga mempertanyakan tentang kebebasan beragama yang kemudian dijelaskan bahwa ada semacam polarisasi politik, atau perselingkuhan antara agama, politik dan kekuasaan. Sehingga, yang sebetulnya menjadi agenda politik tetapi dibungkus dalam wajah keagamaan.
Tentang Penulis:
Elis Nurhadijah adalah mahasiswa berprestasi Prodi Studi Agama Agama tahun 2022. Aktif menulis dan mendampingi dosen dan mahasiswa (Tutor Sebaya) dalam kegiatan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Penerima Beasiswa Bank Indonesia tahun 2022.
Comments (2)
Martina, M.Pd.
Manta dan keren👍👍
Patut dicontoh nih💯
Abdurrahman
Sdh menjadi konsensus nasional bhw neg ind berdasarkan pancasila. Agama dijamin eksistensi nya oleh neg. Setiap wni hrs paham pancasila. Setiap pemeluk agama hrs bs mewarnai hdup n kehdpn di neg pancasila. Tercermin dlm dinamika nya. Umat islam sbg mayoritas tentu lebih mengemuka. Dan ini yg selalu dikritisi. Politik identitas dll. Bukan berselingkuhan ttpi dinamika