Pontianak, 29/11/2022. saa.iainptk.ac.id

Prodi Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Pontianak melalui Sekretaris Prodinya sukses memandu Planary Session 2 kegiatan The 4th International Concerence and CSO Consolidation on Indigeneous Religions: Intersectoral Collaboration On Indigenous Religions (ICIR). 

Sesi ini berlangsung pada Selasa, 29 November 2022 di Aula Syaikh Abdurrani Mahmud IAIN Pontianakpukul 09.00-11.30 WIB. Dengan mengusung tema Religious Moderation In the Frame of Inclusice Democracy, kegiatan ini siarkan secara live streaming di channel youtube PUSAD Paramadina dan diramaikan oleh ratusan peserta baik secara online maupun offline (hybrid).

Sesi ini menghadirkantiga pakar untuk memberikan pembahasan terhadap tema yang diusung. Narasumber pertama adalah Nur Rofi’ah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang bergabung via aplikasi zoom meeting. Sedangkan dua narasumber lainnya hadir secara langsung di lokasi kegiatan, yaitu Romo Bagus Laksana rektor Universitas Sanata Dharma YogyakartaMark Woodward dari Arizona State University. Dipandu oleh Andry Fitriyanto, M. Ud, Planary Session 2 berjalan dengan dinamika intelektual yang berbobot dan dinamis. Dimulai dari pemaparan materi oleh para narasumber dan kemudian dilanjutkan diskusi dengan para audiens.

Narasumber Nur Rofi’ah memaparkan materi Moderasi Beragama dan Demokrasi Inklusif dalam perspaktif teologis Islam. Ia menggagas pentingnya membuka ruang perjumpaan antar umat beragama untuk mencari titik temu antar agama-agama. Di mana segala perbedaan aspek eksoterik mesti menemukan persamaan dalam tujuan kemaslahatan bersama dalam setiap agama. Merupakan tanggung jawab kita bersama untuk mewujudkan misi kemaslahatan agama tersebut dalam ruang kemanusiaan sebagai substansi demokrasi. “Arah moderasi adalah berpegang teguh pada misi hidup dan fondasi moral dalam mewujudkan sistem kehidupan yang rahmatan lil ‘alamin”, paparnya dalam akhir slide presentasi.

Sedangkan narasumber Romo Bagus Laksana memulai materinya dengan menghadirkan kembali relasi antara demokrasi modern dan agama. Dimana demokrasi sebagai sebuah sistem diakui secara jujur memiliki beberapa kelemahan. Di antaranya adalah ketiadaan kekuatan yang berarti untuk memberikan landasan motivasi dan solidaritas gerakan dalam masyarakat luas. Kekurangan tersebut bisa ditutupi oleh sistem nilai yang notabene termanifestasi dalam bentuk agama yang moderat. Di era post sekular saat ini, agama diberi kesempatan untuk masuk dalam ruang publik. Untuk itu diperlukan bangunan rasionalitas publik yang baik. Hal ini dapat juga berlaku sebagai indikator tambahan dalam moderasi beragama, selain empat indikator yang telah dicanangkan (komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan akomodatif terhadap kearifan lokal). Dalam bangunan rasionalitas publik yang baik inilah memunculkan sikap keberagamaan yang lebih dialogis sehingga menghadirkan perjumpaan antar agama dalam kemaslahatan. “Moderasi beragama adalah pemahaman dan praktik agama yang mengabdi pada kemanusiaan dan kehidupan bersama. Moderasi beragama jangan sampai jatuh pada pendisiplinan agama dan komodifikasi agama,” ungkapnya lugas.

Sementara narasumber Mark Woodward membicarakan konsep dasar moderasi dan kebebasan beragama yang juga dikontekstualkan dalam kehidupan beragama di beberapa negara. Ia menyatakan sebuah pendapat yang menyatakan bahwa moderasi beragama bukanlah konsep ilmu sosial, melainkan merupakan sebuah konsep politik dan kebijakan. Istilah tersebut muncul sebagai salah satu reaksi terhadap tragedi terorisme pada 9 November 2001 di USA. Kejadian tersebut memunculkan gelombang islamophobia. Beberapa pihak yang menentang arus ini kemudian mengambil upaya untuk mempertanyakan konsep keislaman moderat yang tercermin dari beberapa cendikiawan muslim di banyak negara. Sementara konsep kebebasan beragama yang juga mengiringi konsep sebelumnya memiliki beberapa contoh paradoks di beberapa negara yang keberagamaan sekelompok masyarakatnya identik dengan kekerasan. Di antaranya adalah Indonesia, Myanmar dan India. “Kesimpulan umumnya adalah organisasi keagamaan bisa membangun dialog satu sama lain yang berfungsi sebagai agen moderasi dan toleransi,” tandasnya.

Penulis: Sukron Wahyudi

Editor: Elmansyah

Leave a Comment