saa.iainptk.ac.id – Selasa, 29 November 2022 menjadi momen bersejarah bagi Program Studi Studi Agama-Agama (baca: Prodi SAA) IAIN Pontianak. Setelah sebelumnya diselenggarakan di Universitas Panca Bhakti Pontianak, International Conference on Indigenious Religions 4 (ICIR 4) selanjutnya diselenggarakan di IAIN Pontianak dan Prodi SAA menjadi tuan rumah.

Pada malam penutupan acara ini, dihadiri Ismail Ruslan selaku Wakil Rektor 3 mewakili Rektor IAIN Pontianak dan ditandai dengan Perjanjian Kerjasama antara IAIN Pontianak—Khususnya Prodi SAA—dengan CRCS dan ICRS UGM. Hadir pula Zaenuddin Hudi Prasojo, Direktur Pascasarjana IAIN Pontianak, yang merupakan guru besar di bidang Perbandingan Agama.

Dengan adanya MoU Perjanjian Kerjasama ini, diharapkan ke depannya Prodi SAA menjalin program dengan CRCS dan ICRS UGM secara kontinu. Seperti misalnya mengirim lulusan Prodi SAA untuk melanjutkan studi S2 dan S3 ke CRCS dan ICRS UGM, dalam upaya mengembangkan kompetensinya dalam bidang Studi Agama dan Budaya.

Samsul Maarif atau yang akrab disapa Mas Anchu, selaku Pimpinan CRCS UGM, mengaku dengan senang hati menyambut mahasiswa lulusan Prodi SAA IAIN Pontianak, apabila berkeinginan melanjutkan studi magisternya ke CRCS. Demikian halnya ICRS, Leonard C. Epafras mewakili Zainal Abidin Bagir selaku direktur, dalam kesempatan ini mengadakan sosialisasi kepada para Dosen Prodi SAA agar melanjutkan studi tingkat doktoralnya di ICRS.

Perhelatan ICIR 4 ini pun diakhiri dengan Plenary Session 3 bertajuk “Cultural Advencement for Inclusive Democracy” yang dihadiri narasumber Ihsan Ali Fauzi (PUSAD Paramadina), Yekti Maunati (BRIN), dan Semiarto Aji Purwanto (UI) serta dimoderatori langsung oleh Samsul Maarif (CRCS UGM).

Dalam diskusi ini para narasumber menyampaikan pemikirannya mengenai kebudayaan dalam ruang lingkup demokrasi di Indonesia. Menurut antopolog Semiarto Aji Purwanto, kebudayaan berkelindan dengan sekumpulan orang di dalamnya. Kebudayaan tidak bisa bertahan apabila masyarakat atau komunitas tersebut sudah tidak melestarikannya. Oleh karena itu,  “jantung inti kebudayaan adalah komunitas” tegasnya.

Sementara itu, Yekti Maunati sebagai peneliti kebudayaan lokal, khususnya Dayak di Kalimantan, menyampaikan bahwa atmosfir demokrasi di Indonesia sudah seharusnya kita manfaatkan sebagai momen melestarikan budaya. Lantaran hal ini sudah dijamin kebebasannya oleh negara.

Pada kesempatan ini Ihsan Ali Fauzi menyampaikan analisis yang cukup mendalam. Dalam pandangannya, komunitas abangan di Indonesia kian hari kian menurun. Hal ini disebabkan lantaran proses penyebaran pemahaman keagamaan yang puritan semakin masif. “Komunitas atau orang-orang abangan inilah yang selama ini melestarikan kearifan lokal yang dimiliki daerahnya masing-masing. Apabila komunitas ini sudah tidak ada, maka budaya pun kian luntur. Saya bicara seperti ini bukan berarti saya anti terhadap agama, sebab saya sendiri beragama, dan saya muslim. Tapi apabila kita ingin melihat persoalan dalam hal budaya, inilah yang menjadi soal” tuturnya.

Di Indonesia, dalam beberapa dekade terakhir puritanisme agama memang cukup meningkat. Hal ini diwarnai dengan maraknya penyebaran dakwah agama dengan spirit pemurnian ajaran agama melalui berbagai media, khususnya media digital. Semangat pemurnian ajaran agama inilah yang kemudian mengikis budaya dan tradisi masyarakat, dan fenomena ini tidak hanya terjadi pada satu agama tertentu saja.

Plenary Session 3 pada akhirnya mengantarkan para tamu yang hadir pada sebuah pemahaman bahwa dalam beragama, bukan berarti pada saat yang sama manusia harus meninggalkan kebudayaannya. Agama dan budaya hendaknya bisa tetap eksis dan harmonis dalam porsinya masing-masing. Terlebih dalam kehidupan kita di Indonesia, negara demokrasi yang inklusif.

Penulis: Syukron Wahyudhi

Editor: Elmansyah

Leave a Comment